Kejadian 9:9-10
Saudara, kalau kita diajak berpikir apakah kita sudah diselamatkan? Kita akan mungkin akan menjawab, “Ya. Kita sudah diselamatkan karena saya sudah beriman kepada Tuhan Yesus. Saya percaya kepada Tuhan Yesus yang adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Saya percaya kepada Yesus yang rela mati di atas kayu salib menebus dosa saya.” Tetapi, kalau kita ditanya lebih dalam lagi, “Mengapa penebusan Kristus itu bisa berlaku kepada kita? Bagaimana Yesus yang mati, tetapi kita yang diselamatkan? Bukankah kita yang berdosa, mengapa Kristus yang harus mati? Dan, mengapa kematian-Nya itu berlaku bagi kita?” Maka kita perlu penjelasan yang lebih lanjut dan itu sebabnya Alkitab menjelaskan, misalnya dalam kitab Roma, penebusan Kristus berlaku kepada kita, karena Allah adalah Allah yang berjanji. Allah berelasi dengan kita di dalam bentuk perjanjian. Ketika kita berdosa, kita dihukum di dalam ikatan, kita melanggar perjanjian. Demikian ketika kita beriman kepada Kristus, relasi kita dipulihkan karena Allah sudah mengikat perjanjian dengan kita. Perjanjian adalah cara Allah berelasi dengan kita, dan salah satu cara menggambarkan perjanjian yang paling sering dalam Alkitab adalah pernikahan.
Bagi masyarakat modern, pernikahan itu adalah salah satu bentuk kontrak sosial. Teori kontrak sosial dijabarkan dan dibeberkan oleh seorang pemikir Perancis yang tinggal di Swiss. Namanya adalah Russo. Pernikahan dalam kontrak sosial artinya hanya perjanjian yang dilakukan oleh 2 belah pihak, dan di dalam kontrak sosial yang paling menonjol adalah benefit. Selama masing-masing pihak masih memberikan benefit, maka relasi itu akan langgeng, tetapi, kalau dirasa salah satu pihak tidak memberikan keuntungan, maka kontrak itu bisa berakhir. Ada tempat di dalam kehidupan kita, di mana cara berpikir ini diperlukan. Dalam dunia bisnis misalnya, sistem kontrak diperlukan karena benefit menjadi yang penting, tapi bukan berarti logika benefit bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Ketika pernikahan dilihat sebagai kontrak, maka sifatnya akan destruktif. Saya mau menikah denganmu selama kamu memberikan benefit kepada saya. Tetapi ada saatnya di mana kamu sudah tidak humoris lagi, kamu tidak sehat, tidak menarik, kamu tidak romantis atau tidak punya uang lagi. Kamu tidak bisa memberikan anak, misalnya, maka saya akan meninggalkan kamu. Tuhan bukan menetapkan pernikahan sebagai kontrak antara manusia dengan manusia. Dalam Alkitab dikatakan, pernikahan adalah perjanjian. Di dalam pernikahan itu, manusia bukan sekedar saling berjanji, tetapi mereka berdua berjanji di hadapan Tuhan. Pernikahan merefleksikan perjanjian Allah dengan manusia. Bukan hanya antara saya dan kamu. Tetapi antara saya, kamu dan Tuhan. Saya, kamu, Tuhan dan seluruh ciptaan.
Mari kita lihat Kejadian 9:9-10. “Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu; burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi.” Tuhan mengikat perjanjian dengan Nuh dan keturunannya, dan juga dengan seluruh makhluk. Dalam Kitab Efesus dijelaskan, bahwa pernikahan menjadi kesaksian relasi Kristus dan jemaat. Itu sebabnya di GRII misalnya, pernikahan dianggap sesuatu yang serius. Ada begitu banyak persiapan rohani di dalamnya. Saudara harus ikut katekisasi dulu. Lalu kemudian, ikut kelas pra-nikah, kira-kira mungkin 10 pertemuan. Lalu kemudian, konseling dengan hamba Tuhan. Lalu kemudian setelah lulus, diberikan kepada hamba Tuhan yang akan menikahkan. Maka akan konseling 3 kali lagi. Kalau tidak ada masalah, 3 kali cukup. Saya pernah mengkonseling sampai 10 kali lagi, karena pernikahan sesuatu yang sangat serius. Gereja mempersiapkan pasangan yang berjanji di hadapan Tuhan seumur hidup dan harus menjadi berkat bagi masyarakat. Dan kalau dalam kontrak sosial, benefit atau timbal balik itu penting, maka bersifat transactional. Perjanjian bukan berjalan dalam logika itu.
Paul Ricker, seorang filsuf Protestan misalnya, mengatakan bahwa kontrak itu mementingkan keseimbangan sehingga kalkulasi transactional sangat penting di dalam kontrak sehingga saling menuntut hak satu dengan yang lain. Saya melihat logika ini diterapkan dalam kasus perang suku di Papua, misalnya. Saudara mungkin pernah mendengar Pak Tong pernah mencoba mendamaikan 2 suku yang sedang bertarung di Papua. Kalau misalnya ada satu suku yang orangnya mati terbunuh oleh suku yang lain, kalau yang meninggal 2, maka 2 orang dari suku yang lain harus dibunuh. Dua hilang, dua juga harus dihilangkan. Maka pada waktu Pak Tong datang KPIN di Papua, dia lihat kenapa tidak ada orang? Dikatakan karena suku di tempat Pak Tong mau khotbah sedang bertarung. Maka beliau pergi ke tempat sebuah jembatan, di mana ada satu suku dan suku yang lain sedang berhadapan. Lalu Pak Tong berusaha untuk mau ada di tengah-tengah jembatan. Polisi tentu saja mencegah. Pak Tong diingatkan, “Nanti suku yang lain mengira bapak adalah anggota suku yang ini. Nanti bapak akan kena panah sebelum sampai ke sana.” Pak Tong bilang, “Mana bisa kena, saya jauh jaraknya.” “Oh, mereka sangat mahir.” Pak Tong bilang, “Tidak apa saya mati, nanti Tuhan akan memperdamaikan mereka.” Tapi polisi berkata, “Kalau bapak begitu, bapak menghancurkan kita semua. Kalau bapak tidak menyebrang, saya berjanji untuk kumpulkan mereka besok.” Dan keesokan harinya, Pak Tong bersama dengan penatua-penatua dari 2 suku. Dan dengan kasih, Pak Tong berusaha menjelaskan kepada mereka, bagaimana Yesus sudah mati bagi kita. Bukan mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi, seperti Kristus yang memberikan nyawa-Nya bagi yang lain. Ada logik yang lain daripada logik transactional. Sesuatu yang Pak Tong berusaha menjelaskan adalah logika covenant.
Paul Ricker mengatakan, “Covenant beroperasi dengan The Logic of Super Abundance.” Jadi logikanya adalah kelimpahan bukan kekurangan. Dalam perjanjian, kita berlimpah dalam anugerah. Apa bedanya orang yang survive dengan orang yang berkelimpahan? Orang yang survive, hidup dengan kelangkaan. Ia berusaha untuk berebut dan menjatuhkan. Dalam situasi kekurangan, orang lain itu adalah ancaman. Nah, apa jadinya kalau kita menjadi seorang Survivor dalam hal perhatian? Kita akan menganggap orang lain sebagai yang mengambil perhatian dari kita. Orang lain akan kita anggap sebagai musuh. Kalau seseorang merasa langka ‘Me Time’, maka orang lain dianggap sebagai ancaman yang mengganggu masa istirahat saya. Istri bisa menjadi ancaman bagi suami yang demikian. Anak-anak bisa menjadi ancaman bagi orangtua yang demikian. Dan, logika Survivor ini berbeda dengan logika kelimpahan. Kalau saudara punya roti 100 lusin, teman anda dengan rakus menghabiskan satu lusin roti anda. Saudara malah menawarkan beberapa lusin lagi. Saudara hanya ketawa-tawa saja, karena saudara punya banyak. Tapi kalau hanya ada satu lusin roti dan ada 100 orang, saudara akan simpan cepat-cepat ke brankas, karena logika kita adalah survival. Demikian juga kalau hati kita itu survival. Sangat beda dengan orang yang hatinya berlimpah kasih Tuhan, bukan? Pernahkah saudara bertemu dengan orang yang gampang emosi atau terkikis, gampang tersinggung? Mungkin orang itu logikanya Survivor dalam hidup. Dia harus bersaing dengan begitu banyak orang. Orang lain adalah musuh, orang lain adalah saingan. Tetapi, bukankah kita diikat perjanjian dengan Tuhan? Sadarkah saudara, betapa limpahnya cinta kasih yang Tuhan berikan pada kita? Bagaimana mungkin kita masih mau hidup seperti orang miskin? Seperti orang yang tidak mendapatkan cinta kasih dan perhatian, padahal Tuhan begitu limpahnya memberikan kepada kita.
Dalam Kejadian 15 dicatat, Tuhan mengikat perjanjian dengan Abraham. Abraham melakukan kebiasaan orang yang berjanji pada waktu itu. Ada binatang yang dikoyakan dan darahnya berceceran. Lalu binatang-binatang itu dijejer memanjang, lalu kemudian orang-orang yang berjanji akan lewat di tengah-tengah sambil mengucapkan janjinya. Dan orang yang melewati itu sambil berjanji juga akan sadar bahwa kalau ia tidak menepati janjinya, ia rela dikoyak seperti binatang itu. Dan dikatakan, ada seperti awan gelap yang menudungi Abraham. Abraham ketakutan. Abraham tahu dia tidak mungkin bisa melakukan tuntutan janji itu dan ketika dia lewat, dia yang akan dikoyak dan hancur. Tetapi Alkitab mengatakan di malam hari Tuhan sendiri yang melewatinya dan bukan Abraham. Sesuatu yang sangat mengejutkan seolah-olah Tuhan mengatakan, “Aku akan menepati janji-Ku dan kalau tidak, biar Aku terkoyak seperti binatang itu.” Tidak ada yang Abraham bisa berikan kepada Tuhan. Tidak ada yang ditawarkan sebagai suatu transactional. Perjanjian berlaku semata-mata karena Tuhan melimpahkan anugerah-Nya. Jadi ini ciri pertama dalam perjanjian yaitu anugerah yang besar. Kalau begitu, apakah saya boleh hidup sembarangan?
Di dalam pasal 17, langsung di situ muncul perjanjian di dalam ikatan sunat. Di dalam pasal 17, sunat berarti ada sesuatu yang harus dilakukan oleh Abraham. Abraham tidak boleh bersantai di dalam menjalankan perjanjian itu. Pasal 17 bukan perjanjian yang terpisah dari pasal 15. Pasal 15 dan 17 adalah satu perjanjian dengan 2 perspektif. Sunat menunjukkan seseorang yagn masuk dalam perjanjian harus menjalankan kewajiban. Ada anugerah, tetapi juga ada tanggung jawab menjalankan perjanjian. Dan, ketika ada pelanggaran terhadap perjanjian, maka ada konsekuensi ada berkat dan kutuk, dengan demikian kita melihat 2 hal ini tidak bisa dipisahkan. Dalam perjanjian, Allah juga menunjukkan bahwa Ia itu rindu berelasi dengan umat-Nya. Jadi perjanjian itu bukan sesuatu yang seperti zaman sekarang, kontrak kerja saja; tetapi relasinya seperti pernikahan. Di dalam ikatan perjanjian itulah, Allah memberikan nama-Nya kepada kita dan Allah menempati semua janji-Nya. Itu sebabnya, Dia disebut Allah yang adil. Apa itu adil dalam pengertian orang Kristen? Adil tidak bisa dilepaskan dari covenant. Orang yang melakukan kewajibannya dalam covenant disebut adil. Allah adil karena menepati janji-Nya. Manusia disebut tidak adil karena dia tidak melakukan perjanjian.
Saudara, di dalam Alkitab kadang-kadang orang disebut tidak adil, karena misalnya tidak memberikan kepada orang-orang yang sulit. Apa salahnya kita tidak memberi? Ini kan uang saya. Saya hanya tidak memberikan kepada orang miskin, kepada anak yatim, dan sebagainya. Kenapa teguran Tuhan adalah tidak adil? Karena Tuhan mau kita memperhatikan sekitar. Maka waktu kita mengabaikan tanggung jawab kita, kita disebut tidak adil; tetapi, tanggung jawab itu tidak menghilangkan relasi. Allah membuka siapa diri-Nya kepada manusia. Musa sangat ingin tahu Tuhan itu siapa, dan Tuhan mengatakan: “Yah·wehYah·weh El ra·ḥūm (Yahweh, Yahweh, Pengasih).” “Wə·ḥan·nūn ’e·reḵ ’ap·pa·yim (Penyayang dan panjang sabar).” “Wə·raḇ–ḥe·seḏwe·’ĕ·meṯ(besar kasih dan setia-Nya).” Nama yang begitu intim dibukakan kepada manusia. Itulah relasi covenant. Allah berjanji kepada Abraham. Abraham disebut sahabat Allah. Allah berjanji kepada Musa. Musa disebut manusia yang berjumpa Allah muka dengan muka. Allah berjanji pada Daud. Begitu akrabnya, Daud dikatakan orang selalu ada di hatinya Tuhan.
Minggu lalu di Melbourne, saya berkhotbah mengenai relasi perjanjian Allah dan manusia. Dan Allah mengatakan akan tiba saatnya Aku akan mengatakan bahwa hasrat hati-Ku adalah kamu. Tuhan seperti pengantin pria yang mengatakan kepada pengantin wanita-Nya, hasrat hidup-Ku adalah engkau. Tuhan bukan menyelamatkan kita seperti kewajiban saja, tetapi hati-Nya membara sangat rindu berelasi dengan kita. Saudara, ketika saudara mengikat perjanjian pernikahan, bagaimana saudara melihat pasangan anda? Apakah dia adalah sahabat terdekatmu seperti Abraham dilihat oleh Tuhan? Apakah dia yang sangat terbuka sehingga muka dengan muka berbicara? Apakah dia orang yang begitu kau cintai seperti dikatakan orang yang selalu dekat dengan hati Tuhan? Ketika kita memahami apa itu perjanjian, seharusnya itu mengubah cara kita melihat relasi-relasi yang lain. Itu sebabnya dalam covenantfamily, fellowship itu penting. Itu sebabnya di dalam gereja (covenant church), fellowship itu penting. Dalam keluarga, dalam gereja, kita bersekutu seperti Tuhan bersekutu dengan umat-Nya. Kita gereja adalah umat perjanjian. Kita memancarkan relasi Allah dengan Abraham, dengan Musa, dengan Daud.
Maka Injil bukan sekedar hukum. Di dalam relasi covenant, melebihi hukum harusnya. Dalam covenantal school, guru bukan saja sekedar menegakkan aturan, karena relasi covenant melampaui hukum. Itulah perjanjian Tuhan. Ada hukum. Ada peraturan. Ada kasih dan anugerah. Ada etika dan juga ada kebiasaan. Ada kebiasaan yang Tuhan tuntut untuk dilakukan sebagai umat perjanjian. Umat perjanjian harus hidup berbeda dari sekitarnya. Maka ada structure dan habit yang beda. Maka kita melihat meskipun dalam covenant relasi itu penting, convenant bukan sekedar relasi. Kalau di dalam teori kontrak sosial, kita cenderung melihat untuk menyelesaikan permasalahan, misalnya dilakukan reformasi birokrasi. Oh, ada masalah, yo kita bikin undang-undang baru. Oh, ayo kita ganti menteri. Ayo kita bikin, misalnya undang-undang yang baru. Tapi dalam pemahaman covenant, problem-nya bukan cuma itu. Mungkin ini masalah habit, bukan sekedar masalah structure. Misalnya kalau keluarga saudara, keluarga yang baik saling mengasihi. Bukankah itu baik? Covenant family, relasi penting, saling mengasihi. Tapi kalau keluarga ini tidak disiplin, keluarga ini juga akan hancur. Dan ketika kita melihat dari sudut covenant, relasi saja tidak cukup. Demikian juga keluarga yang begitu disiplin, tetapi tidak membangun bonding, mereka juga belum mencerminkan keutuhan covenant. Itulah teologi covenant dari Reformed.
Saudara, melalui Kristus kita diselamatkan dan melalui Roh Kudus kita diadopsi. Kita menjadi keluarga Allah dan bersekutu dengan Tuhan. Maka fellowship menjadi penting bagi kita. Bawalah fellowship itu ke dalam gereja. Bawalah fellowship itu dengan anak-anak saudara. Bukankah zaman sekarang banyak orang merasa lonely? Mari kita membangun relasi yang sehat. Dan bukankah seringkali kemalasan menghalangi fellowship? Ternyata relasi dan disiplin juga saling berkait. Orang tua terlalu malas untuk membangun bonding dengan anak; menyerahkan hari-hari mereka dengan berbagai entertainment yang disediakan. Terlalu malas untuk membangun family altar dan akhirnya berkait dengan relasi. Jadi, covenant juga ada structure-nya. Dan di dalam covenant, ada authority dan submission. Di dalam keluarga, misalnya ada suami sebagai kepala, istri sebagai yang ikut. Maka otoritas itu diajarkan oleh Kristus. Struktur itu penting. Nah, kita memahami struktur ini di dalam logika Kristus. Kita memahami bagaimana otoritas bekerja melalui kayu salib. Pria tidak boleh membuang tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Pria harus berani, takut akan Tuhan, penuh pengorbanan di dalam menjalankan otoritas. Saudara tidak boleh mengatakan, “Ah saya ga mau pimpin ah. Saya kasih anak saja yang suruh pimpin.” Kita tidak boleh lepas dari tanggung jawab. Kita melihat begitu banyak suami yang disfungsi dalam keluarga. Ada yang memanfaatkan otoritasnya untuk menyesah yang di bawah, menimbulkan kebencian terutama terhadap otoritas dari orang-orang yang mengalami penganiayaan demikian. Ada yang menganggap itu sesuatu yang tidak penting dan bahkan akhirnya tidak memanfaatkannya dengan takut akan Tuhan, menimbulkan begitu banyak orang yang seolah ada ayah, tapi fatherless. Para ayah, ingatlah perjanjianmu dengan Tuhan. Para ibu, ingatlah perjanjianmu dengan Tuhan. Anak-anak, ingatlah perjanjianmu dengan Tuhan. Dan jadilah keluarga, covenantal family yang takut akan Tuhan. Authority dijalankan dengan pengorbanan. Authority dijalankan dengan cinta kasih. Kristus menjadi standarkita, bagaimana mengerjakan otoritas dan submission.
Kita akan review apa yang sudah kita bahas mengenai covenant. Yang pertama, ada anugerah yang diberikan. Yang ke-2, ada tanggung jawab dari kita. Yang ke-3, ada berkat dan kutuk yang akan menyertai. Yang ke-4, saya tambahkan, Tuhan memberikan sakramen untuk kita mengingat perjanjian itu. Ketika saudara membaptiskan anak anda, anda sedang membawa anak anda masuk sebagai umat perjanjian. Mungkin saudara paling suka apa-apa itu jadi prioritas. Di Indonesia, bank-bank menawarkan program prioritas. Dan orang-orang bangga kalau bisa menjadi anggota prioritas, bukan? Bagi beberapa orang itu adalah sebuah pencapaian. Tetapi bukankah yang paling indah adalah orangtua ingin anaknya mendapatkan kasih dan perhatian dari Tuhan? Dan bukankah yang menjadi perhatian Tuhan adalah umat perjanjian-Nya? Itu sebabnya kita membawa anak kita masuk sebagai umat perjanjian. Maka jangan tunda-tunda baptisan anak, yah karena kita rindu dia menjadi anggota umat perjanjian. Melalui sakramen, kita terus mengingat akan perjanjian Tuhan. Dan yang ke-5, di dalam perjanjian ada suksesi. Perjanjian itu bukan hanya bagi kita, tapi bagi generasi selanjutnya. Saudara bisa perhatikan, perjanjian kepada Abraham, kepada Musa dan juga kepada Daud sampai kepada Kisah Para Rasul. Semuanya polanya sama, perjanjian ini untukmu, untuk keturunanmu, untuk anak cucumu. Jadi kita ada tanggung jawab dan kewajiban mengingatkan anak kita akan perjanjian, bahwa kita berjanji akan berjuang untuk menepati perjanjian, bersikap adil dengan memuliakan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan. Dan itu sebabnya, kita disebut covenantal family. Kita berjanji akan mendidik anak kita takut akan Tuhan. Dan, gereja kita disebut convenantal church, karena kita menerima janji Tuhan dan kita akan memberikannya itu kepada anak cucu kita. Dan di dalam tradisi reformed ada yang ke-3, yaitu covenantal school. Maka ini menjadi tripartite dari menjaga covenant Tuhan di dalam sejarah.
Maka, kalau sekolah itu covenantal juga, maka sekolah itu harus confessional. Gereja itu confessional. Ada doktrinnya. Ada pengakuan imannya. Family juga confessional, juga memegang perjanjian pada Tuhan dan ada pengakuan iman. Demikian sekolah juga confessional. Jadi bukan hanya sembarangan, tetapi mempunyai confession. Di dalam permulaan reformasi, pendirian sekolah Kristen menjadi salah satu bagian agenda reformasi. Biasanya dalam sejarah, kita tahu bahwa Luther berjuang ada begitu banyak gereja reformasi yang muncul. Tetapi sadarkah saudara bahwa Luther dan Calvin bukan hanya berjuang untuk gereja Kristen, tapi juga sekolah Kristen? Luther berjuang supaya setiap tempat perumahan ada perpustakaannya. Dia mau supaya angka buta huruf itu turun dan banyak orang literasinya meningkat. Saudara tahu karena apa? Karena Sola Scriptura. Kalau orang tidak bisa baca, bagaimana dia baca Alkitab? Maka untuk orang bisa bertumbuh imannya, tumbuhkan dulu dia harus bisa baca, maka sekolah. Maka reformasi di bidang keagamaan itu menjadi berkat di bidang lain, termasuk di dalam bidang pendidikan. Luther terjun langsung memimpin gerakan sekolah Kristen, menganjurkan para petani untuk menyekolahkan anaknya.
Saudara bisa download ‘Sermon on keeping children in school.’ Itu dikhotbahkan di tahun 1530. Dia memberikan begitu banyak anjuran untuk para petani menyekolahkan anaknya. Dan saudara mungkin bisa membuka satu dokumen, yaitu Church Order dari Synod of Dort. Kita biasanya kalau Synod of Dort ingatnya adalah Canon of Dort.TULIP misalnya, mengajarkan doktrin pilihan. Tetapi mungkin para hamba Tuhan bukan hanya membaca Canon of Dort, tetapi perlu membaca Church Order. Jadi Church Order dari Dort ini seringkali menjadi pedoman, tata laksana gereja reformed di seluruh dunia.
Saya bacakan artikel ke-21 dari Church Order. “Everywhere consistories shall see to it, that there are good schoolmasters who shall not only instruct the children in reading, writing, languages, and the liberal arts, but likewise in godliness and in the Catechism.” Saudara lihat, itu ada di dalam Church Order. Orang-orang bukan hanya berjuang untuk gereja Kristen, tetapi gereja reformed juga punya tradisi sekolah Kristen ratusan tahun. Kita ibarat mendapatkan hadiah begitu besar, yaitu perjanjian dari Tuhan. Kita gembel jadi anak raja. Lalu Raja bilang, “Didik anakmu jangan hidup seperti gembel. Anakmu itu kaya raya karena kamu sudah jadi anak Sang Maha Tinggi. Hiduplah sebagai warga Kerajaan Allah. Didik anakmu untuk hidup seperti itu.” Dan dalam covenantal education, lingkungan itu sangat penting. Tadi saya mengatakan setelah orang bertobat, disuruh hidup jauh dari dunia. Jadi tidak boleh sama dengan dunia. Maka seringkali kehidupan Kristen adalah kehidupan counterculture. Dan saudara kalau membaca Ulangan 31, Musa memerintahkan anak-anak yang tidak tahu, untuk dididik supaya tahu. Mereka harus dipersiapkan hidup berbeda karena mau masuk ke sebuah tanah yang berbeda. Anak-anak akan hidup di satu tempat yang sangat berbeda dengan apa yang mereka percaya. Maka mereka perlu dipersiapkan supaya ketika mereka masuk, mereka tetap takut akan Tuhan. Mereka akan digoda oleh berbagai macam berhala. Mereka akan digoda melalui berbagai macam kesuksesan, tapi tugas orang tua memastikan bahwa anaknya tetap takut akan Tuhan. Maka lingkungan menjadi penting. Maka dalam Ulangan 31, Tuhan memberikan perintah kepada pemimpin, yaitu Yosua, kalau sekarang pemimpin gereja. Tadinya pendidikan ini adalah dilakukan oleh keluarga, lalu sekarang dilakukan oleh gereja. Dan nanti di dalam Titus 2, dilakukan oleh setiap anggota yang senior kepada yang lebih junior. Dan, kalau kita membaca Ulangan 6, muncul kata shanan (impress) ke dalam hati anak-anak. Jadi kita ukir takut akan Tuhan di hati anak-anak kita.
Covenantal education membutuhkan beberapa hal. Pertama, pemahaman yang benar tentang firman Tuhan. Yang ke-2, lingkungan yang berbeda dalam menjalankan kehendak Tuhan. Ke-3, proses pendidikan yang unik dengan tujuan yang berbeda dengan dunia. Yang ke-4, orang-orang bijaksana (mentor) yang membimbing generasi muda. Dan ketika ini dilakukan, musuh tidak tinggal diam. Sering terjadi pengaruh bangsa asing, sekularisasi dan paganisasi. Maka di dalam proses pendidikan, ada saatnya kita perlu separasi untuk sementara waktu. Ada waktu di mana Tuhan membawa Israel ke Sinai dulu selama satu tahun, sebelum masuk ke tanah Kanaan. Mereka mungkin akan hancur ketika langsung dicampur. Maka di situ mereka dibentuk identitasnya sebelum masuk ke dalam tanah Kanaan. Itu sebabnya komunitas covenant, yaitu gereja, sekolah dan keluarga bekerja sama dengan baik. Saya sering ditanya apakah sekolah Kristen itu holistic. Saya mengatakan, “Ada dalam pengertian tertentu sekolah Kristen tidak boleh holistic. Karena sekolah Kristen tidak boleh meniadakan pentingnya keluarga. Dan sekolah Kristen bukan gereja. Sekolah Kristen adalah perpanjangan tangan orang tua, perpanjangan tangan gereja.” Maka dengan demikian, ini adalah komunitas covenant yang mengerjakan panggilan Tuhan.
Minggu ini kita bersama-sama mendoakan apa yang tadi Pak Agus sudah sharing-kan. Kita tidak tahu apa yang menjadi rencana Tuhan ke depan. Tetapi paling tidak kita memahami apa itu covenant dan apa implikasinya. Berapa minggu yang lalu saya berkhotbah di Surabaya megenai kitab Ester, yaitu sikap Ester dan Mordekhai ketika menghadapi panggilan Tuhan yang mereka tidak tahu pasti apa tidak. Mordekhai mengatakan, “Ester, mungkin untuk saat inilah engkau ditempatkan Tuhan jadi ratu.” Kok momennya, providensi tepat yah? Kok kelihatannya ini semuanya bukan kebetulan yah? Apakah kita langsung mengatakan, “Inilah kehendak Tuhan. Semalam saya mimpi.” Mordekhai tidak mengatakan itu. Mordekhai hanya mengatakan, “Ester, Tuhan pasti tolong. Kalau kamu tidak mau, Tuhan bisa pakai yang lain. Tapi mungkin Tuhan mau pakai kamu. Siapa tahu.” Saya suka ayat itu. Siapa tahu Tuhan mau pakai kamu. Siapa tahu Tuhan mau pakai saudara? Siapa yang tahu? Tapi kemudian tidak berhenti di situ, saudara. Ester mengatakan, “Kalau aku mati, biar aku mati.” Jadi, mungkin Tuhan mau pakai aku, kalau tidak, aku melayani dengan baik dan aku siap mati. Biarlah kita menggumulkan panggilan Tuhan yang kita belum tahu akan pimpin ke mana. Tuhan pakai kita atau tidak, Dia akan bertindak. Siapa tahu Dia mau pakai kita. Tapi yang penting kita mau bekerja baik-baik. Siap bayar harga. Mari kita berdoa.
GRII Sydney
GRII didirikan di atas dasar Pengakuan Iman Reformed Injili dengan tujuan menegakkan satu gereja yang berbasiskan teologi Reformed, dengan mimbar yang menyampaikan khotbah ekspositoris, read more