Mat 14:22-33
Bacaan di depan kita pada hari ini adalah mujizat di mana Yesus berjalan di atas air. Mengapa Yesus melakukan mujizat? Semua mujizat itu dilakukan hanya karena satu alasan, untuk membuktikan kepada kita siapa Yesus sebenarnya. Konsep tentang bukti identitas sangat umum bagi kita sekarang. Jika anda pergi ke bank dan mengaku bahwa anda memang adalah diri anda sendiri maka teller bank akan meminta anda untuk membuktikan identitas anda dengan menunjukan SIM anda. Jika anda diwawancara untuk sebuah pekerjaan maka sang pewawancara akan melontarkan beberapa pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh orang yang kompeten untuk pekerjaan tersebut. Lantas bagaimana tentang Yesus? Jika Yesus datang maka bukti seperti apa yang perlu Ia tunjukkan untuk mendukung klaim-Nya? Jika Yesus bukan hanya seorang anak tukang kayu tetapi Dia yang memiliki hak dan kuasa untuk menduduki tahta kerajaan Daud. Jika Yesus bukan hanya seorang nabi tetapi sang Anak Allah yang otoritas, kuasa dan kemuliaan-Nya melampaui setiap pelayan Allah yang mendahuluinya. Jika Yesus bukan hanya seorang manusia tetapi sesungguhnya dan sepenuhnya juga Allah. Jika Yesus menyatakan diri-Nya layak untuk disembah dan dipuji, layak untuk diutamakan di atas segala sesuatu yang baik di dunia, di atas kekayaan, kenyamanan, nama baik, keluarga kita dan bahkan melampaui hidup dan mati kita. Jika Yesus mengklaim kemuliaan yang sangat tinggi itu, maka Ia perlu membuktikannya melalui mujizat yang diperbuat-Nya. Yesus sama sekali tidak kekurangan bukti. Maka dari itu, mempercayai Yesus bukanlah pertama-tama peperangan terhadap nalar dan juga logika kita. Meskipun memang mujizat melampaui logika dan nalar, karena itu adalah pekerjaan Allah bukan pekerjaan manusia. tetapi mempercayai Yesus adalah peperangan melawan dosa kita sendiri. Mempercayai Yesus berlawanan dengan rasa kemandirian kita. Itu menghancurkan otonomi kita dan bertolak belakang dengan rasa bahwa diri kita sendiri benar, karena jika Yesuslah Raja, maka saya bukan raja. Jika Yesuslah Tuhan, maka sayalah hamba. Jika Yesus menawarkan pengampunan, maka saya perlu mengaku bersalah. Dan jika Yesus mati bagi saya supaya saya dapat memperoleh hidup dan hidup dengan berlimpah, maka saya tidak dapat lagi hidup untuk diri saya sendiri.
Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari mujizat-mujizat Yesus, karena setiap mujizat ini menyatakan kepada kita siapa diri Yesus itu. Dan dengan mengetahui siapa Yesus itu, secara tidak langsung akan membawa kita kepada pengetahuan akan siapa kita. Sebagai contohnya, katakanlah mujizat kesembuhan. Yesus dapat memulihkan mata orang buta, membuka mulut orang bisu, menyembuhkan orang dari kusta dan bahkan membangkitkan orang mati. Yesus dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan bahkan membangkitkan orang yang mati. Ia melakukan ini semua untuk menunjukkan bahwa Ia mampu menghentikan segala penderitaan di dunia ini. Ia mampu dan Ia akan membawa dunia yang rusak ini kembali kepada rancangan-Nya yang indah. Bebas dari segala sakit penyakit, kesedihan dan kekecewaan. Dan apa artinya terhadap kita, bagi kita semua yang mengalami sakit, kesedihan dan kekecewaan dalam hidup, mujizat kesembuhan, Yesus memanggil kita untuk datang kepada-Nya.
Kita tidak dapat menemukan solusi yang sejati untuk dunia yang rusak ini selain di dalam Yesus Kristus. Kita berkata kepada-Nya, “Yesus, jika Engkau dapat membangun sebuah dunia tanpa air mata, maka saya mohon dengan rendah hati untuk membawa saya ke dalam dunia itu.” Di atas mujizat kesembuhan-Nya, Yesus juga menyatakan bahwa Ia tidak hanya bisa menyembuhkan tubuh yang melemah, tetapi juga jiwa yang hilang. Yesus berkata kepada orang yang lumpuh, “Dosamu telah diampuni.” Dan setelah itu orang lumpuh tersebut langsung berespon dengan berdiri. Melalui mujizat Yesus yang satu ini bersama-sama dengan perkataan-Nya juga, kita dapat mengetahui bahwa Ia mampu mengampuni dosa. Hal ini begitu mengejutkan karena mengampuni dosa ialah hak Allah. Dan lagi apa artinya ini bagi kita semua?
Bagi kita semua yang telah berdosa dan berlaku jahat, kita yang menyembah ciptaan, kita yang membenci, berbohong dan berzinah. kita yang mengingkari janji kita dengan Allah, kita yang telah menyerahkan diri sebagai hamba segala kejahatan, dan terlebih lagi kita yang pasti dinyatakan bersalah di hadapan tahta penghakiman Allah. Ketika kita orang berdosa dan jahat, datang kepada Yesus yang mampu dan akan mengampuni dosa, yang dapat memberikan jiwa kita istirahat, yang akan membukakan jalan menuju Firdaus kepada siapa pun yang mau mengakui kesalahannya dan berbalik dari kejahatan mereka dan meminta pertolongan pada Yesus, bagaimana kita harus berespon terhadap orang ini? Saya rasa kita hanya dapat berseru bersama-sama dengan pengemis yang buta itu, “Yesus anak Daud, kasihanilah aku.” Kita hanya dapat memohon bersama-sama dengan perempuan Kanaan itu, yang tidak terhitung dalam perjanjian dengan Israel, “Saya bukan anak, saya anjing, akan tetapi bahkan anjing pun ikut makan dengan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” Dan kita hanya dapat berkata bersama-sama dengan perampok yang disalibkan di sebelah Yesus, “Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Semua catatan ini menunjukkan kita satu hal bahwa mujizat-mujizat Yesus menuntut suatu respon.
Hari ini, saat kita membaca dan mempelajari mujizat di mana Yesus berjalan di atas air, Ia menuntut response secara pribadi dari anda dan saya. Hanya karena 2000 tahun telah berlalu sejak mujizat ini terjadi dan anda sekarang sedang duduk di atas kursi yang nyaman, itu tidak berarti anda dibebaskan dari fakta bahwa Yesus menuntut response Anda secara pribadi. Tidak seperti kebanyakan mujizat di injil Matius, yang ini juga mencatat bagaimana murid Yesus ber-response terhadap mujizat tersebut. Dan ada banyak hal juga yang dapat kita pelajari dari response murid-murid Yesus, karena kita juga adalah murid Yesus. Masalah, tantangan dan kegagalan yang sama yang dihadapi murid-murid Yesus pada abad pertama, juga harus kita hadapi dalam mengikut Yesus di abad ke-21. Jadi kita dapat menempatkan diri kita di dalam posisi murid-murid Yesus dan menanyakan pada diri kita sendiri pertanyaan satu ini, “Akankah kita mendapati diri kita dalam keadaan di mana kita memandang kepada Yesus, mengenali siapa Dia, berkata kita percaya kepada-Nya akan tetapi masih tenggelam dalam ombak ketakutan dan keraguan?” Inilah pertanyaan yang ingin saya jawab bersama-sama dengan saudara pada hari ini selagi kita mempelajari kisah Yesus berjalan di atas air.
Kisahnya dimulai dengan murid-murid Yesus yang sedang berada di atas perahu dan mereka terjebak di tengah badai di dalam laut Galilea. Meskipun orang Yahudi dahulu menyebutnya laut Galilea, sesungguhnya ini adalah sebuah danau. Akan tetapi danau ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan angin dan ombak yang besar karena letak geografisnya. Setelah matahari terbenam, daratan sekitar akan dingin lebih cepat dibanding air dari danau dan air danau akan menghangatkan udara di atasnya. Lalu udara hangat itu akan naik ke atas dan ini akan menyebabkan tekanan udara yang lebih rendah di atas danau yang akan menyedot udara dari sekitar. Dan tidak hanya itu, danau Galilea juga berbentuk seperti sebuah mangkuk. Danau ini dikelilingi banyak daratan yang lebih tinggi dari permukaan air dan dikarenakan perbedaan ketinggian ini, udara yang dingin akan bergerak dari tempat yang tinggi ke dalam mangkok itu. Semua hal ini menyebabkan angin yang keras dan juga awan badai untuk berkumpul di tengah-tengah danau ini. Karena semua alasan tersebut, cuaca di danau Galilea dapat berubah secara drastis dengan begitu cepat. Dan para murid bukannya tidak tahu akan fenomena ini karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan di danau ini. Tapi kali ini mereka benar-benar menghadapi suatu masalah.
Berdasarkan perikop sebelumnya kita tahu bahwa para murid naik ke perahu sekitar sore hari untuk bertolak ke seberang. Biasanya perjalanan ini memakan satu atau mungkin 2 jam. Akan tetapi kita tahu bahwa ketika waktu sudah pukul 3 pagi, mereka masih terjebak di tengah danau. Artinya perjalanan mereka sedang dihambat oleh sebuah badai. Di dalam Alkitab, laut yang bergejolak memiliki arti yang simbolis. Singkatnya, lautan melambangkan kekacauan dan kejahatan. Tidak susah bagi kita untuk membayangkan kenapa laut memiliki reputasi seperti ini, karena laut sangat sulit ditebak dan begitu mematikan. Sudah dianggap umum pada zaman dulu bila seseorang pergi berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Dan yang mengerikannya adalah tidak ada yang tahu apa yang terjadi kepada mereka. Alasan lain lagi adalah karena laut ini dalam dan gelap, anda tidak tahu apa yang akan anda temukan di bawah air tersebut. Bahkan dengan teknologi modern yang sekarang, kita masih tidak bisa menjelajahi bagian lautan yang paling dalam. Bagi orang Timur kuno, lautan yang dalam adalah tempat yang penuh dengan misteri dan yang menyimpan banyak bahaya.
Di dalam Alkitab kita juga mendapati bahwa lautan yang bergejolak sering digunakan sebagai gambaran kekuatan jahat yang memberontak melawan Allah. Contohnya ada tertulis di dalam Kitab Yesaya 57:20, ‘Tetapi orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang dan arusnya menimbulkan sampah dan lumpur.’ Ada juga di Mazmur 18, Mazmur yang dikutip Yunus setelah ia ditelan ikan besar, ‘Tali-tali maut telah meliliti aku dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku. Tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.’ Di sini Mazmur ini menggambarkan lautan sebagai tempat di mana maut berkuasa, tapi di saat yang sama lautan juga digambarkan sebagai tempat di mana Allah memerintah secara penuh. Ada tertulis di Mazmur 29:10, ‘Tuhan bersemayam di atas air bah. Tuhan bersemayam sebagai raja untuk selama-lamanya.’ Konsep teologi yang sama ini dipopulerkan oleh lagu yang berjudul “Still” yang dikarang Hillsong. Pada bagian refrainnya, liriknya berkata bahwa Bapa Surgawi kita adalah Raja atas air bah, bahkan ketika samudera menyerang dan petir menyambar. Ini adalah gambaran yang disodorkan oleh Alkitab, di mana ada lautan yang bergejolak tapi Allah ada di atas lautan yang berombak-ombak itu. Allah Israel sering digambarkan di dalam Perjanjian Lama sebagai Ia yang berjalan di atas air yang menenangkan dan mengatur ombak dan badai, yang berkuasa atas alam semesta.
Selagi kita menelusuri Alkitab, kita mendapati 2 peristiwa ketika Allah tidak hanya digambarkan berkuasa atas air bah tetapi airnya pun sendiri tenang dan tidak melawan Allah. Dan 2 peristiwa ini diambil dari bagian paling awal dan paling akhir dalam Alkitab. Pada bagian pertama Alkitab kalimat pertama berkata bahwa Allah menciptakan langit dan bumi. Di saat itu bumi masih tidak berbentuk dan kosong. Dan hanya ada gelap gulita yang menutupi samudera raya, tetapi samudera itu tidak berombak-ombak pada mulanya. Tertulis di dalam Kejadian 1:2, bahwa Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Kalimat tersebut adalah penjelasan secara harafiah dan juga penjelasan yang puitis tentang kedamaian di antara Allah dengan ciptaan-Nya. Dan sekarang kita lompat ke bagian paling akhir dari Alkitab. Kita buka pada kitab Wahyu khususnya pasal 21:1, di mana langit dan bumi yang baru digambarkan sebagai sesuatu tempat yang tidak memiliki lautan. Saya akan bacakan bagian Wahyu 21:1, ‘Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi.’ Ingatlah bahwa di dalam kitab Wahyu, laut merupakan tempat lahir binatang yang akan menghujat Allah dan memerintah atas bumi secara sementara. Tetapi pada akhirnya ketika Yesus memenangkan peperangan-Nya dan menghentikan segala kejahatan, dijelaskan bahwa Ia akan mengeringkan samudera maka tidak ada lagi tempat bagi kuasa jahat untuk bersembunyi di bawah laut.
Semua bacaan Alkitab ini membantu kita untuk menghargai simbolisme mujizat di mana Yesus berjalan di atas air dengan begitu dalam. Tidak hanya menunjukkan kuasa mutlak Yesus atas alam, ada 2 hal lain yakni: pertama, bahwa Yesus adalah Allah Israel di Perjanjian Lama, Ia berjalan di atas air sama seperti Allah yang berjalan di atas air. Ia menenangkan ombak dan badai selayaknya Allah di Perjanjian Lama. Dan untuk membuat ini begitu jelas, Ia memanggil diri-Nya sendiri dengan nama Allah yaitu “AKU”. Nantinya ketika murid-murid melihat Yesus dan mengira Ia hantu, Yesus berkata kepada mereka, “Tenanglah, AKU ini, jangan takut.” Kata “AKU” yang dipakai di sini dalam bahasa aslinya adalah “AKU” yang sama di Perjanjian Lama. “AKU” adalah nama yang Allah tunjukkan kepada Musa ketika Ia berbicara melalui semak yang terbakar. Saya akan bacakan bagi anda Keluaran 3:13-14. Inilah nama indah yang sekarang Yesus kenakan bagi Diri-Nya sendiri. Allah begitu agung sampai Ia tidak dapat dijelaskan oleh suatu apa pun di luar diri-Nya sendiri. Jika kita sungguh-sungguh ingin mengenal-Nya, maka Ia akan menjawab, “Akulah AKU.” Kedua, mujizat Yesus berjalan di atas air juga memberitahukan kita bahwa Yesus akan mengalahkan segala kekacauan, ketidakteraturan dan kejahatan di dunia. Lalu Ia akan memenuhi janji Allah akan membawa damai bagi dunia ini.
Sekarang mari kita akan arahkan perhatian kita dari mujizat Yesus kepada response para murid. Saya percaya bahwa kita akan dapat belajar banyak dari mereka. Ketika Petrus menyadari bahwa hantu itu adalah Yesus, Petrus berkata kepada-Nya, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku berjalan di atas air.” Di dalam bahasa aslinya permintaan Petrus diawali dengan kondisi yang nyata. Saya rasa kalimat apabila Engkau itu lebih tepat diterjemahkan sebagai karena Engkaulah itu. Perbedaan ini penting, karena Petrus tidak sedang bertanya untuk memastikan identitas Yesus dengan meminta mujizat, melainkan ia sedang meminta dengan mantap dalam iman. Ia ingin melakukan apa yang Yesus lakukan. Bagi seorang nelayan seperti Petrus, berjalan di atas laut yang kacau dan berbahaya adalah salah satu pengalaman yang menakjubkan. Sebelumnya dalam Matius 10, Yesus telah memberikan kepada ke-12 murid kuasa untuk melakukan mujizat yang Yesus akan lakukan saat itu. Sekarang Petrus meminta lebih banyak lagi. Yesus kemudian mengabulkan permintaan Petrus. Dengan perintah Yesus datanglah, maka Petrus beranjak dari perahu dan berjalan ke Yesus di atas air.
Pada mulanya airnya cenderung tenang dan Petrus cukup yakin bahwa ia dapat berjalan di atas air dengan aman. Namun tak lama kemudian, Petrus melihat bahwa badai besar sedang datang ke arahnya. Dan ia juga melihat ombak yang begitu besar yang dapat menguburnya dengan mudah. Dan Petrus pun mulai panik. Insting dia sebagai nelayan langsung mengambil alih. Dan dia pun mulai meragukan kemampuannya untuk dapat tetap di atas air di tengah badai tersebut. Dan segeralah Petrus mulai tenggelam ke dalam air. Dan ia berseru kepada Yesus, “Tuhan tolonglah aku!” Dan Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menarik dia dari dalam air. Kemudian Yesus menanyakan satu pertanyaan yang sederhana tetapi begitu dalam. “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Pertanyaan ini adalah keluhan yang sering diucapkan kepada murid-Nya. Lantas apa masalahnya kali ini? Masalahnya bukanlah Petrus tidak mengenali siapa diri Yesus. Petrus tahu dengan jelas siapa Yesus dan apa yang dapat Dia lakukan. Itulah alasan mengapa ia meminta kepada Yesus untuk membuat ia bisa berjalan di atas air. Masalahnya adalah ia begitu ketakutan atas apa yang dia lihat, karena ia melihat apa yang hatinya begitu takuti, badai besar yang sedang datang. Sesungguhnya dengan melihat Yesus berdiri dengan aman di tengah badai, Petrus dapat mengerti bahwa ia akan aman di tengah badai. Tetapi ketika ia mulai panik, ia tidak dapat lagi berpikir dengan logika. Di tengah ketakutan itu, ia lupa bahwa ia sedang berdiri di atas air dengan kuasa mujizat Yesus. Apa yang sedang menopang dia di atas air? Yesuslah yang sedang menopang dia dan bukan air tersebut. Dan jika bukan airnyalah yang menopang Petrus, bagaimana bisa airnya membuat dia tenggelam? Bahkan ketika Petrus sedang berdiri di hadapan Allah atas alam, bahkan di depan Allah yang bernama AKU itu, dan bahkan ketika ia sedang mengalami mujizat berdiri dan berjalan di atas air, iman dan nalarnya dikalahkan oleh badai dengan begitu mudahnya.
Jadi apa moral dari kisah ini? Apa yang perlu Petrus pelajari dari pengalaman ini? Saya rasa karena Yesus menegur Petrus dan berkata, “Hai orang yang kurang beriman.” Sangat wajar bagi kita untuk menyimpulkan bahwa Petrus perlu lebih beriman. Dan itu benar. Akan tetapi saya rasa, banyak orang Kristen salah kaprah akan apa artinya untuk lebih beriman. Mereka berpikir bahwa iman itu seperti tangki bensin mobil, di mana anda dapat pergi ke pom bensin dan mengisinya dengan lebih lagi. Jadi jika anda kekurangan iman maka solusinya adalah percaya dengan lebih keras. Tetapi ketika kita membaca bacaan kita pada hari ini, Yesus tidak sedang meminta Petrus untuk percaya untuk lebih keras lagi seperti layaknya seorang pelatih menyemangati timnya dari luar lapangan. Malahan Yesus datang menghampiri Petrus dan mengangkat dia dari dalam air. Dengan kata lain bukan jumlah iman Petrus yang menyelamatkan dia dari tenggelam, tetapi Yesuslah objek dari iman dia yang menyelamatkan dirinya dari tenggelam. Petrus diselamatkan bukan karena ia percaya lebih keras, dia diselamatkan karena dia percaya di dalam orang yang benar.
Selagi kita semua bergumul dengan iman kita yang sedikit, Yesuslah yang memastikan kita semua akan selamat. Ketidakpercayaan Petrus adalah kelemahan yang sering kita miliki dalam hati kita. Seperti Petrus kita juga perlu melampaui iman kita yang kecil ini. Tetapi bagaimana caranya? Apakah dengan percaya lebih keras? Saya rasa tidak. Tetapi saya rasa dengan percaya kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar dengan pengertianmu sendiri. Kita akan melampaui iman kita yang kecil ketika kita memalingkan mata kita dari badai-badai yang ada dan memandang mata kita kepada Yesus. Dengan melihat Dia berdiri di atas air dan mengenali siapa Dia, yaitu untuk mengerti kuasa-Nya dan mengetahui bahwa kasih-Nya yang setia dan tidak berkesudahan ada untuk kita. Keyakinan kita bukanlah di dalam kesetiaan di dalam Kristus, tetapi di dalam kesetiaan Kristus kepada kita. Saya rasa pertanyaan Yesus kepada Petrus mengapa engkau bimbang adalah sebuah pertanyaan yang penting untuk kita renungkan. Ketika kita menempatkan diri kita dalam posisi Petrus, dan sungguh-sungguh bertanya pada diri kita mengapa saya bimbang, kita akan menyadari bahwa tidak ada alasan yang sah bagi kita untuk bimbang.
Bimbang itu seperti sebuah gelembung. Ketika orang Kristen bertanya kepada dirinya sendiri mengapa, maka gelembung itu akan meletus. Saudara-saudara, takut akan keadaan dan iman dalam Kristus bertentangan satu sama yang lain. Ketika engkau takut pandanglah kepada Kristus, ketika engkau ragu belajarlah lebih tentang Kristus, dan ketika engkau bimbang peganglah teguh kepada janji Kristus. Tanpa berbalik kepada Kristus, gelembung itu tidak akan pernah meletus. Jadi keadaan apakah yang anda takuti? Apakah kekurangan uang? Apakah masalah dalam relasi? Ataukah kemampuanmu yang biasa-biasa saja? Masa depan yang tidak tentukah? Atau kesehatan yang memburuk? Ketahuilah saudara-saudara, bahwa semua hal ini sama sekali tidak akan menjaga anda tetap berada di atas air. Dan tak ada satu pun dari hal tersebut dapat memberikan perlindungan yang sejati dalam hidup. Anda memerlukan jaminan yang lebih baik. Anda perlu membangun rumah anda di atas batu karang. Sehingga ketika hujan turun, banjir datang, dan angin ribut meniup rumah tersebut, dia tidak akan roboh, karena ia dibangun di atas batu karang yang teguh. Dan batu karang itu tidak lain adalah Yesus Kristus.
Rasul Paulus bertanya dalam Roma 8. Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan? Atau kesesakan? Atau pengaiayaan? Atau kelaparan? Atau ketelanjangan? Atau bahaya? Atau pedang? Jawabannya, tidak ada. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Di dalam mujizat-mujizat-Nya, Yesus membuktikan bahwa Ia dapat dipercayai, tidak hanya Ia berkuasa, Ia juga akan menggunakan kuasa-Nya untuk kebaikanmu. Saat memberi makan 5000 orang, Yesus menunjukkan bahwa Ia mengerti kebutuhan kita dan Ia akan memenuhi kebutuhan kita. Dan hari ini, saat Ia menenangkan badai, Yesus menunjukkan bahwa Ia mengerti semua kelemahan kita dan Ia akan mengusir semua ketakutan kita dan mengangkat kita keluar dari air. Yesus, sang AKU yang agung itu, layak kita sembah, tapi terlebih lagi Ia layak kita percayai. Jadi percayalah bahwa Yesus lebih besar dari pergumulanmu dan engkau akan dengan senantiasa berpegang teguh kepada janji-janji-Nya dan dengan berani mengikuti Dia ke tengah badai dan keluar dari badai tersebut. Amin. Mari kita berdoa.
GRII Sydney
GRII didirikan di atas dasar Pengakuan Iman Reformed Injili dengan tujuan menegakkan satu gereja yang berbasiskan teologi Reformed, dengan mimbar yang menyampaikan khotbah ekspositoris, read more